Pemerintah terus mendorong transformasi industri batu bara melalui hilirisasi sebagai bagian dari strategi besar energi nasional.
Kebijakan ini mengharuskan para pemegang izin usaha pertambangan (IUP) skala besar untuk berinvestasi dalam proyek hilirisasi. Namun, di balik langkah ambisius ini, DPR menyoroti sejumlah tantangan yang tak bisa diabaikan.
Hilirisasi adalah proses mengolah batu bara mentah menjadi produk bernilai tambah seperti dimethyl ether (DME), gasifikasi batu bara, metanol, hingga bahan bakar cair.
Tujuannya adalah untuk mengurangi ketergantungan impor, menciptakan lapangan kerja, dan memperkuat ketahanan energi nasional.
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), tujuh perusahaan raksasa batu bara yang diwajibkan melakukan hilirisasi meliputi:
- PT Bumi Resources Tbk
- PT Adaro Energy Indonesia Tbk
- PT Bayan Resources Tbk
- PT Indika Energy Tbk
- PT Bukit Asam Tbk
- PT Kideco Jaya Agung
- PT Multi Harapan Utama
Perusahaan-perusahaan ini memiliki produksi batu bara sangat besar dan pengaruh signifikan terhadap pasar dalam negeri maupun ekspor.
Komisi VII DPR RI memberikan catatan kritis terhadap realisasi hilirisasi oleh para pemain besar ini. Berikut beberapa kendala utama yang disoroti:
1. Skema Investasi yang Berat
Proyek hilirisasi batu bara memerlukan investasi besar yang bisa mencapai triliunan rupiah. Tidak semua perusahaan siap dari sisi pendanaan maupun risiko keekonomian proyek.
2. Kepastian Regulasi yang Masih Lemah
Beberapa anggota dewan menilai regulasi yang mengatur hilirisasi masih belum cukup kuat dan konsisten, terutama dalam hal insentif fiskal dan kemudahan perizinan.
3. Teknologi dan SDM Masih Terbatas
Indonesia masih bergantung pada teknologi asing dalam pembangunan fasilitas hilirisasi. Hal ini menimbulkan tantangan dari sisi biaya dan transfer pengetahuan.
4. Pasar Produk Hilirisasi yang Belum Jelas
DPR juga menekankan pentingnya kepastian pasar bagi produk hilirisasi, seperti DME, agar proyek berjalan tidak hanya berdasarkan dorongan kebijakan, tetapi juga berdasarkan permintaan pasar yang nyata.
Pemerintah melalui Kementerian ESDM telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang mengatur kewajiban hilirisasi bagi pemegang IUP. Dalam regulasi ini, perusahaan yang tidak memenuhi target hilirisasi dapat dikenai sanksi, mulai dari peringatan tertulis hingga pencabutan izin.
sisi lain, pemerintah juga menjanjikan sejumlah insentif seperti tax holiday, pembebasan bea impor alat, dan kemudahan perizinan lahan untuk menarik minat investasi.
Jika berjalan lancar, hilirisasi batu bara diyakini bisa membawa dampak positif antara lain:
- Meningkatkan nilai tambah sumber daya alam.
- Mengurangi impor LPG melalui substitusi dengan DME.
- Mendorong pertumbuhan industri pendukung dan membuka lapangan kerja.
Namun, tanpa solusi konkret terhadap berbagai kendala, proyek hilirisasi berisiko stagnan dan hanya menjadi rencana di atas kertas.